HUKUM SHALAT IED

HUKUM SHALAT IED

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari



Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

“Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu ‘ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[1] dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.


Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi’ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum’at, serta disyari’atkan pula takbir di dalamnya.


Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]


Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam “Sailul Jarar” (1/315).[2]

“Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid.


Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[3]


Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita”.


Kemudian beliau Rahimahullah berkata :

“Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Ied jatuh pada hari Jum’at -pen)[4]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama’ah sejak disyari’atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied”[5]


Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam “Tamamul Minnah” (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :


“Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah ……”


[Disalin dari buku Ahkaamu Al’Iidaini Fii As Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura’, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]

_______

Footnote

[1]. Lihat “Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya

[2]. Shiddiq Hasan Khan dalam “Al-Mau’idhah Al-Hasanah” 42-43

[3]. Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa’i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad (5/84 dan 85).

[4]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id dengan hai Jum’at- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (1 hadits) “Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum’at ….” [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat “Al-Mughni” (2/358) dan “Majmu Al-Fatawa” (24/212).

[5]. Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat “Nailul Authar” (3/382-383) dan “Ar-Raudlah An-Nadiyah” (1/142).


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form